KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT karena rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya
tulis ini. Salam dan salawat semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah menuntun kita ke arah yang benar, sehingga saya dapat menyelesaikan
karya tulis yang berjudul SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA. Terima kasih
kepada bapak/ibu guru yang telah memberikan kesempatan untuk mengerjakan karya
tulis ilmiah ini, dan ibu dan bapak dirumah yang memfasilitasi dan memberikan
doanya untuk kelancaran penulisan ini, dan teman-teman sekalian yang membantu.
Dalam penyusunan karya tulis ini mungkin terdapat banyak kesalahan, maka
saran dan kritikan dibutuhkan untuk bias memperbaiki kesalahan dalam penulisan
karya tulis ini.
TTD
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3. Tujuan ............................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 4
2.1. Saringan Laboratorium Manusia Purba .......................................................... 4
2.2. Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran ................................... 5
2.3. Misteri Sangiran yang Terungkap .................................................................. 7
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 10
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 10
3.2. Saran ............................................................................................................ 10
REFERENSI ............................................................................................................ 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sangiran merupakan lahan
perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten
Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Sangiran adalah
situs arkeologi manusia purba terlengkap di Asia. Sangiran pertama kali
ditemukan oleh P.E.C Schemulling tahun 1864 dengan laporan penemuan fosil
vertebrata dari Kalioso. Luas situs Sangiran mencapai 56 km2 ,
lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan
petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Dilokasi
Sangiran ini pula ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus Erectus untuk
pertama kalinya oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koeningswald.
Koleksi yang tersimpan di
museum Sangiran mencapai 13.806 yang tersimpan pada dua tempat yaitu 2.931
tersimpan di ruang pameran dan 10.875 di dialam ruang penyimpanan. Bahkan
banyak orang asing yang menggunakan kawasan Sangiran sebagai pusat laboratorium
penelitian manusia purba. Museum Sangiran menyumbang perkembangan ilmu
pengetahuan seperti Antropologi, Geologi, Paleoanthropologi. Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dibahas Sangiran Laboratorium Manusia Purba
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas,
masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaiman sejarah situs
Sangiran ?
2. Apa saja jenis-jenis
manusia purba yang ditemukan di Sangiran ?
3. Mengapa Sangiran
dijadikan laboratorium penelitian manusia purba?
1.3. Tujuan
Berdasarkan
dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah dirumuskan
tujuannya sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui sejarah situs Sangiran.
2. Untuk
mengetahui jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Sangiran.
3. Untuk mengetahui alasan Sangiran
dijadikan labratorium penelitian manusia purba.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SANGIRAN
LABORATORIUM MANUSIA PURBA
Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di
Jawa, Indonesia. Tempat ini merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia
purba, sehingga sangat penting dalam sejarah perkembangan manusia dunia.
Sangiran memberi informasi lengkap sejarah kehidupan manusia purba meliputi
habitat, pola kehidupannya, binatang yang hidup bersamanya, hingga proses
terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta tahun
(Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah).
Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km² dan
sebagian besar berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah utara Kota Surakarta, di lembah
Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian yang merupakan bagian dari
Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).
Gambar Peta Lokasi Sangiran
Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996
situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Sangiran terdaftar dalam
Situs Warisan Dunia UNESCO sebagai World Heritage (No. 593, dokumen
WHC-96/Conf.201/21).
Situs
Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang menarik. Tempat ini memiliki nilai
tinggi bagi ilmu pengetahuan dan merupakan aset Indonesia. Sejak ditetapkannya
sebagai World Heritage oleh UNESCO, Sangiran memberi sumbangannya
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia khususnya ilmu arkeologi,
geologi, paleoanthropologi, dan biologi.
Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia
purba dan kajian evolusi manusia terbesar di Asia bahkan Dunia, karena di situs
ini ditemukan fosil peninggalan manusia purba dari 2,4 juta tahun silam.
Tak hanya fosil manusia, tapi juga berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan
bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus),
Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba
(stegodon dan gajah modern). Ditemukan pula alat produksi manusia purba yang
digunakan dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan situs-situs manusi purba di
Cina seperti Zhudian, Yuanmo dan Longhupa yang hanya menyajikan peninggalan
purba kurang dari dua juta tahun.
2.2. Sejarah
Eksplorasi dan Berdirinya Museum Sangiran
Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah penelitian
yang dinamakan Kubah Sangiran kemudian tererosi bagian puncaknya
sehingga membentuk sebuah depresi akibat pergerakan dari aliran sungai. Pada
depresi itu ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan
di masa lampau. Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat indah, yaitu Kali
Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami erosi tanah
sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah
yang satu dengan lapisan tanah yang lain.
Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga
sekarang banyak ditemukan fosil-fosil manusia maupun binatang purba.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang
tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan
penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi
(endogen) maupun di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang
melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran
menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan
pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas mengakibatkan
tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang susunannya
terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen
tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro).
Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di lapisan-lapisan tersebut
berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan
Trinil, dan lapisan Ngandong.
Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald
memulai penelitian di area tersebut dan menemukan beberapa alat sepih yang
terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Kubah
Sangiran. Von Koenigswald adalah seorang ahli paleoantropologi dari Jerman yang
bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun 1930-an. Setelah
mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta (“tulang
buta/raksasa”) oleh warga dan diperdagangkan.
Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan
tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”) oleh
Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di
lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km timur Sangiran. Dengan dibantu oleh Toto
Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap hari von
Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar.
Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa
melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk
memperlakukan fosil yang ditemukan. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil
penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih
fosil Homo erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar,
termasuk seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs
tersebut dan kawasan sekitarnya.
Penggalian oleh tim Von Koenigswald berakhir 1941.
Koleksi-koleksinya sebagian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto
Marsono di Sangiran sampai tahun 1975, yang kelak menjadi Museum Purbakala
Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di Jerman,
Franz Weidenreich. Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang berkunjung ke
tempat tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah museum. Pada awalnya
Museum Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak
di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah museum yang representatif baru dibangun
pada tahun 1980 karena mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan
sekaligus untuk melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata yang
nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum
seluas 750 m2.
Gambar Museum Sangiran
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang
pameran, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran
film tentang kehidupan manusia prasejarah), gudang penyimpanan, mushola,
toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya menjual handicraft
“batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro). Berikut ini
adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:
- Fosil manusia, antara lain Australopithecus
africanus (replika), Pithecanthropus mojokertensis (Pithecanthropus
robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo
neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika),
dan Homo sapiens.
- Fosil binatang bertulang
belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus
palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus
sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae (sapi,
banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
- Fosil binatang laut dan air
tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi
ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan
Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
- Batuan, antara lain rijang,
kalsedon, batu meteor, dan diatom.
- Artefak batu, antara lain
serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak
perimbas-penetak.
Gambar Fosil Sangiran
2.3. Misteri
Sangiran Yang Terungkap
Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an,
masyarakat di sana hanya mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di
lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-tulang
raksasa. Balung adalah bahasa Jawa yang berarti tulang dan buto
adalah raksasa. Dengan demikian, secara harfiah, balung buto
mempunyai arti tulang raksasa. Selain itu, pemahaman mereka terkait balung
buto juga berkaitan dengan tradisi lisan atau mitos mengenai perang besar
yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam
pertempuran itu banyak raksasa yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran,
sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan tulang-belulang besar yang
mereka namakan balung buto. Para tetua kampung yang berusia di atas 60
tahun masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto
tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.
Sebelum
kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis.
Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri
atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat
membantu ibu-ibu yang susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada kurun
waktu sebelum 1930-an, balung buto yang banyak banyak bermunculan di berbagai
tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan—jarang diganggu oleh
penduduk setempat. Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah
situs Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan berbukit-bukit,
memang tidak memungkinkan bagi peneliti asing itu bekerja sendiri.
Dalam upaya
untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald meminta bantuan penduduk. Ilmuwan asal
Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait
keberadaan fosil dan artefak purba. Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk,
Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada penduduk yang
menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan
kelangkaannya. Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka
sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.
Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap
digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian dan nilainya pun berhasil
diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula, masyarakat Sangiran
mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto,
yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis
menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampau merupakan
kawasan subur tempat sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di
wilayah khatulistiwa, pada jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi
tempat tujuan migrasi manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan.
Dengan demikian kawasan sangiran pada kala pleistosen menjadi tempat hunian dan
ruang subsistensi bagi manusia pada masa itu. Tempat-tempat terbuka seperti
padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat sungai atau danau menjadi
pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala pleistosen. Mereka membuat
pangkalan dalam aktifitas perburuan untuk mendapatkan sumber kebutuhan
hidupnya.
Pilihan situs kubah Sangiran sebagai pangkalan
aktifitas perburuan mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup)
atau old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu
situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia purba,
fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya
berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome)
yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse
(kenampakan terbalik), hal ini dibuktikan dengan endapan yang bisa kita jumpai
di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng biru dari Formasi
Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan hingga sekarang
ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut. Kondisi deformasi geologis
seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan
Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di
bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut
maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan
memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata).
Keadaan geo-stratigrafi dari pengamatan stratigrafi batuannya dapat diketahui
menjadi beberapa formasi, diantaranya :
- Formasi Kalibeng
- Formasi Pucangan
- Formasi Grenzbank
- Formasi Kabuh
- Formasi Notopuro
- Formasi Teras Solo (Kali Pasir)
Kawasan Sangiran menyimpan misteri yang sangat menarik
untuk diungkap. Manusia purba jenis Homo erectus yang ditemukan di
wilayah Sangiran ada sekitar lebih dari 100 individu yang mengalami masa
evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh
fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah
fosil sejenis yang ditemukan didunia. Jenis Homo erectus yang ditemukan
adalah dari masa Pleistosen Awal dan Pleistosen Tengah, dan mungkin juga pada
Pleistosen Akhir. Manusia jenis ini mempunyai ciri-ciri tinggi badan kurang
lebih 165-180 cm dengan postur yang tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus.
Mereka memiliki geraham yang masih besar, rahang kuat, tonjolan kening tebal
serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis dan tonjolan belakang
kepalanya nyata, dagu belum ada dan hidung lebar. Perkembangan otaknya baru
memiliki volume sekitar 800-1100 cc dan manusia ini digolongkan dalam Homo
erectus arkaik.
Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini
sebanyak 13.809 buah. Sebanyak 2.934 fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran
dan 10.875 fosil lainnya disimpan di gudang penyimpanan. Beberapa fosil manusia
purba disimpan di Museum Geologi Bandung dan Laboratorium Paleoanthropologi
Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara
umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3
kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus arkaik
yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai
usia antara 1,7 – 0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus
palaeojavanicus dan Pithecanthropus mojokertensis. Kelompok kedua
adalah jenis Pithecanthropus klasik yang berasal dari Formasi Kabuh
(Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun. Jenis
kelompok ini (Homo erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran.
Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus progresif yang berasal dari
Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara 400.000 – 100.000
tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo soloensis dari
Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
Gambar Manusia Purba Sangiran
Demikianlah
karya ilmiah mengenai “Sangiran Laboratorium Manusia Purba” ini. Sebagai
warga negara yang baik kita harus bisa melestarikan kekayaan budaya baik itu
wisata maupun sejarah bangsa. Agar tidak punah oleh waktu. Selain itu kita juga
harus bisa menjaganya agar tetap lestari dan berkembang.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Ladang fosil di situs Sangiran sangat khas, Anda dapat melihat jelas pada
bagian yang bertebing curam yaitu stratigrafi yang menunjukkan empat formasi
(lapisan tanah). Stratigrafi merupakan studi mengenai sejarah, komposisi dan
umur relatif serta distribusi perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan
batuan untuk menjelaskan sejarah Bumi.
Keberadaan Kawasan Sangiran sangatlah penting dan menarik, secara nyata
Anda dapat melihat lokasi temuan dan lapisan stratigrafi yang sudah berumur
jutaan tahun. Saat ini arealnya seluas 56 km² tersebut masih dihuni oleh
masyarakat sekitar Sangiran. Sangiran merupakan aset yang sangat penting secara
nasional maupun internasional.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia. Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan
berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).
2. Ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931
fosil ada di Museum, sisanya disimpan di gudang penyimpanan. Sebagai World
Heritage List (Warisan Budaya Dunia).
3.2. SARAN
Kita sebagai penerus bangsa Indonesia harus tetap
menjaga penemuan-penemuan purbakala baik yang berada di daerah kita maupun di
daerah lain.
REFERENSI
- Santosa,
Hery (2000). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:
Universitas SanataDharma.
- Sulistyanto,
Bambang (2011). Mitos Balung Buto: Tafsir Makna dan Relevansinya
terhadap Benda Cagar Budaya Sangiran. Diakses 24 Juni 2014, Tersedia:http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-makna-dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/
- Gunawan,
Restu dkk (2013). Sejarah Indonesia kelas X. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- http://www.indonesia.travel. Sangiran:
Situs dan Museum Manusia Purba di Lembah Bengawan Solo. Diakses 24
Juni 2014
- http://www.museumindonesia.com. Museum
Purbakala Sangiran. Diakses 24 Juni 2014. Tersedia: http://www.museumindonesia.com/museum/19/1/Museum_Purbakala_Sangiran_Sragen
- http://www.wikipedia.org. Sangiran.
Diakses 24 Juni 2014. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sangiran
- Http://yogapermanawijaya.wordpress.com
2 komentar:
sangat membantu gan
Sangat panjang tapi thank you tugas sekolah ku terselesaikan 🥺
Posting Komentar